Beranda Sulawesi Tenggara Buton Tengah Primordialisme Dalam Praktek Demokrasi

Primordialisme Dalam Praktek Demokrasi

138
0

Opini : Akbar Tanjung

Primordialisme dapat berarti mula-mula, pokok, pertama, kesetiaan terhadap unsur-unsur yang diperoleh dalam sosialisasi sejak dilahirkan. Primordialisme pengelompokkan manusia yang dilandasi dengan kesetiaan terhadap unsur-unsur sejak lahir berupa unsur-unsur pokok dalam kehidupan manusia. Primordilisme umumnya dilandasi faktor seperti keyakinan ideologi, adanya kepentingan pribadi atau golongan, keturunan darah dan kesamaan daerah.

Primordilisme dalam masyarakat majemuk merupakan satu hal yang hampir pasti selalu terjadi. Dalam praktiknya kita dapat melihat bahwa seorang pemimpin akan menempatkan yang bersuku sama sebagai orang kepercayaannya. Dalam konteks Indonesia, menguatnya sentimen identitas primordial kemudian memicu sentimen kedaerahan diera demokrasi setelah reformasi.

Ada beberapa faktor penyebab fenomena primordilisme di Indonesia, diantaranya :

Pertama, masih berlangsungnya interpretasi yang kurang tepat akan hakikat ke Indonesiaan. Kesalahan memahami makna ke Indonesiaan yang bercirikan antara lain : pluralisme, demokrasi dan karakter republikan yang seharusnya menjadi sendi pemerintahan Indonesia, pada gilirannya tidak hanya memicu kegagalan dalam mempertahankan makna kebangsaan sebagaimana disyaratkan oleh para pendiri bangsa, namun dalam konteks yang lebih konkret menyebabkan salah urus pemerintahan yang berlarut-larut

Kedua, Hadirnya sebuah negara yang memonopoli simbol-simbol kebangsaan atas nama kesatuan geografis, modernitas dan industrialisasi. Hal itu di satu sisi merupakan konsekuensi dari perilaku negara dalam mempertahankan entitas bangsa-bangsa, namun apabila cara penguatnya menafikan egalitarinisme dan penghormatan terhadap beragam elemen etnis, hasilnya justru menyesatkan sebagian kelompok primordial. Kondisi seperti inilah yang menjadi pemicu masalah bagi eksistensi bangsa itu sendiri.

Ketiga, perubahan institusional pemerintahan yang berimplikasi pada berubahnya tatanan sosial, konstelasi kekuasaan dan pola distribusi kesejahteraan. Dalam hal inilah perubahan institusional memberikan peluang bagi bangkitnya sebuah kesadaran primordial sebagai respon makin terbukanya kesempatan nilai-nilai primordial dalam mempengaruhi kebijakan daerah.

Ke empat, Ketimpangan keterwakilan politik dan budaya memainkan peran penting dalam menciptakan sebuah frustasi politik, pengabaian keterwakilan budaya kemudian biasanya disusul dengan timbulnya kesadaran primordial kelompok yang mengalami marginalisasi.

Keragaman sebagai Identitas Demokrasi Kebangsaan

“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, semua buat semua,satu buat semua, semua buat satu”.

Pernyataan tersebut disampaikan secara terbuka oleh Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang diperingati oleh seluruh Rakyat Indonesia sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

Dengan kata lain,sejarah mencatat bahwa Indonesia dilahirkan oleh para tokoh Nasionalis,Agama, Intelektual dan Daerah, bukan karena kesamaan suku bangsa, kesamaan sosial budaya ataupun agama.

Pernyataan diatas juga secara terbuka menjelaskan bahwa salah satu titik terlemah indonesia sebagai “identitas diri baru” dalam wadah negara Indonesia, adalah kelahirannya sebagai bangsa yang multikultural.

Sehingga sangat penting untuk menguatkan budaya dan struktur kognisi “kekitaan”, daripada “keakuan” dan “kekamian”, termasuk mengikis budaya “mono kultural” secara sadar, seperti proses perumusan Pancasila, yang digali dan mengakomodasi keberagaman yang multiprimordial, tanpa ada yang merasa lebih unggul.

Disisi lain juga bangsa Indonesia memiliki ikrar “Soempah Pemoeda”, pada 28 oktober 1928, yang menyertakan asal organisasi kedaerahan, namun tanpa perdebatan “mayoritas” dan “minoritas”.

Kesadaran indonesia yang lahir bukan dari kesamaan etnis (ethnic nation) atau kesamaan wilayah (nation state), seharusnya menjadi pengingat bagi politisi atau elit untuk tidak memainkan sentimen “identitas lokal” bersifat primordial, untuk mencegah terjadinya benturan antara nilai primordial dan nilai nasional berdasarkan Pancasila.

Karena itu selayaknya panggung demokrasi dijadikan ruang penguatan identitas kebangsaan secara alami dan sistematis tanpa menghilangkan keberagaman “identitas lokal”.
Namun bagaimana diskursus dalam ruang demokrasi ditarik pada satu keterikatan antara identitas primordial dan identitas kebangsaan menjadi kesatuan yang harus saling mendukung.

Disinilah proses demokrasi harus hadir dalam bentuk pertarungan konsepsi dan aspirasi, sebagai ruang reproduksi identitas kebangsaan untuk memaksimalkan amanat konstitusi tentang bagaimana gagasan yang dipertarungkan untuk meraih simpati adalah langkah dan strategi dalam memenuhi hak warga negara di segala bidang.

Termasuk pemerataan pembangunan dan penyamaan kualitas kehidupan antar daerah, penegakan hukum yang tidak tebang pilih dan berkeadilan bagi setiap orang, untuk dapat mengikat emosi menjadi semangat kebangsaan dalam proses berdemokrasi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini