Beranda Kabupaten Pekalongan Pasar di Bodren Desa Sidorejo Diduga Dibangun Ilegal di Tanah Pengairan

Pasar di Bodren Desa Sidorejo Diduga Dibangun Ilegal di Tanah Pengairan

80
0
Gambar: Pasar di Bodren Desa Sidorejo Diduga Dibangun Ilegal di Tanah Pengairan, (21/3/2025).

IKNews, PEKALONGAN –Pembangunan Pasar yang selama ini dikenal sebagai Pasar Bodren di Desa Sidorejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, yang sudah beroperasi lebih dari dua tahun, diduga kuat dibangun secara ilegal di atas tanah yang seharusnya digunakan untuk pengairan atau irigasi!

Proyek ini, yang didanai oleh pihak ketiga hingga mencapai 500 juta rupiah, menimbulkan tanda tanya besar tentang legalitas dan regulasi yang melatarbelakanginya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari warga sekitar, pasar yang awalnya dicanangkan sebagai inisiatif warga kini dikelola oleh pemerintah desa tanpa ada transparansi dan izin yang jelas.

Bahkan, dilaporkan bahwa tanah yang digunakan untuk mendirikan pasar tersebut adalah tanah milik pengairan yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang.

Belum ada izin resmi terkait pembangunan pasar tersebut baik dari pihak desa maupun pemerintah daerah.

“Awalnya memang ide dari warga. Tapi setelah pasar ramai, sekarang sudah dikelola oleh kepala desa. Tapi saya dengar belum ada badan hukum yang jelas. Kalau soal keuangan, saya disarankan langsung tanya ke Kades,” ungkap salah satu warga yang meminta namanya tidak dipublis.

Namun, dugaan adanya pungutan liar di pasar tersebut semakin menguat, dengan tarif yang dibebankan kepada pedagang sebesar 1 juta rupiah per meter persegi, tergantung pada ukuran lapak yang disewa. Praktik pungli ini semakin mencuat, menambah kecemasan di kalangan masyarakat.

Kepala Desa Sidorejo, Nur Joyo, yang dikonfirmasi awak media, mengakui bahwa pasar tersebut memang dibangun di atas tanah irigasi, namun membantah bahwa proyek ini ilegal. Ia menegaskan bahwa telah melakukan perjalanan ke Semarang untuk mengurus izin pembangunan pasar.

Meskipun begitu, ia tidak bisa membantah bahwa pasar ini sudah berjalan lebih dari dua tahun tanpa adanya regulasi atau perizinan yang jelas.

“Pasar ini memang bagus untuk perekonomian desa, tapi kalau ada yang merasa ada pungli, silakan jangan jualan di sana. Masih banyak pedagang yang mau,” ujar Nur Joyo kepada media pada Jumat, 21 Maret 2025.

Namun, meskipun demikian, Kepala Desa juga mengungkapkan fakta mengejutkan lainnya, yakni adanya biaya retribusi yang dibebankan kepada pedagang dengan nominal yang cukup besar, yakni sekitar 500 juta rupiah yang terkumpul dari investor pasar. Para pedagang diminta untuk membayar per meter yang bervariasi sesuai luas lapak yang mereka sewa.

“Untuk legalitasnya, saya buatkan SK Desa untuk ketuanya Soni. Semua transaksi retribusi ada pembukaan dan laporan keuangan yang jelas,” tegas Nur Joyo.

Di sisi lain, banyak pihak yang mempertanyakan mengapa pasar yang jelas-jelas berdiri di atas tanah pengairan bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah. Warga dan pedagang pun semakin khawatir akan adanya dampak hukum di masa depan.*

Peliput: Agung