Marhaeni Luciana Mawuntu: Menjadi Teladan dalam Menghargai Kemajemukan, Kesetaraan Jender, dan Pelayanan Gereja

oleh -20 Dilihat
Gambar: Marhaeni Luciana Mawuntu, teolog, sosiolog, dan aktivis perempuan asal Minahasa, tengah berbagi wawasan mengenai peran gereja dalam pemberdayaan perempuan dan pemberantasan kekerasan terhadap anak, Manado, Minggu, 20 Mei 2023 . Foto : Feybe Lumanauw

IKNews, SOSOK – Dari namanya, Marhaeni, sudah tergambar betapa nasionalisnya kedua orang tuanya yang mengagumi Soekarno dan ajaran Marhaennya. Marhaeni Luciana Mawuntu lahir pada 20 Mei 1969 di Manado dari seorang ayah Fransiscus Xaverius Mawuntu dan ibu Susana Hariawan. Eni, demikian panggilan akrabnya, anak sulung dari tiga bersaudara, bertumbuh dari keluarga yang sangat menghargasi pluralitas. Sejak usia sekolah dasar (SD) dia sudah berbaur dengan teman-teman dari berbagai denomiasi dan agama. Ketika itu dia menimba ilmu di yayasan pendidikan milik Katolik. Pendidikan dasarnya diselesaikan di Jakarta. Marhaeni dengan modal pembauran di sekolah katolik di Manado kemudian dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman SD di tanah perantauan yang mayoritas beragama Islam.

Dunia pendidikan memang menggemblengnya semakin arif dalam menyikapi kemajemukan. Pada masa pendidikan menengah, dia bersekolah di SMP Negeri I Manado dan mayoritas teman-temannya adalah Muslim.

“Saya bersyukur dapat bergaul dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda denominasi dan agama sejak usia muda, usia kanak-kanak. Sejak kecil saya sudah memahami apa artinya kepelbagaian,”ujar Marhaeni. Dia menyelesaikan studi Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA St. Aquino dan melanjutkan studi pendidikan tinggi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Tomohon (UKIT).

Apabila didasarkan pada pembidangan, seharusnya Marhaeni melanjutkan studi di Fakultas Teknik atau Kedokteran. Namun pendidikan linier itu tidak ditempuhnya karena dia lebih tertarik untuk menjadi seorang pendeta. Demi mewujudkan impiannya, dia mendaftarkan diri di Fakultas Teologi Jurusan Kependetaan UKIT meskipun mendapat penolakan dari ibunya.

Ketertarikan pada bidang teologi telah tumbuh sejak usia muda terutama pada saat dirinya aktif mengikuti Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) penginjil cilik David dan Ribka Moningka serta Evangelis Yusuf Roni. Selain itu juga Marhaeni mengidolakan seorang pendeta kharismatik yaitu Pendeta Kamagi. “Saya merasa kagum dengan kemampuan teologi mereka serta kehebatan mereka berkhotbah. Pada waktu itu saya berpikir, saya harus bisa seperti mereka menjadi penginjil dan pendeta,”tutur Marhaeni.

Marhaeni menamatkan pendidikan teologi S1 di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) pada tahun 1992. Pada tahun 1996 Marhaeni menyelesaikan studi S2 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) pada Program Sosiologi Agama. Dengan semangat belajar yang tinggi, Marhaeni melanjutkan studi S3 dan berhasil meraih gelar doktor di UKSW pada tahun 2017. Pada saat menekuni studi doktor dengan bimbingan Prof. Dr. John Titaley, PhD., Marhaeni berkesempatan menjadi mahasiswa tamu di Louisvile Presbyterian Teological Seminary Kentucky. Dia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Redefinisi dan Rekonstruksi Tou : Kajian Sosial terhadap Identitas Sosial Minahasa dalam konteks NKRI.

Dengan kelengkapan studi yang mumpuni ini, Marhaeni dapat disebut sebagai seorang teolog sosiolog yang berhasil mengungkap identitas sosial Minahasa dalam konteks NKRI. Setelah kembali studi S2 dirinya diteguhkan menjadi pendeta Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) pada tahun 1996 dan setahun kemudian mulai aktif menjadi seorang asisten dosen. Sejak saat itu ladang pelayanan Marhaeni terfokus pada dunia pendidikan sebagai seorang dosen di Fakultas Teologi UKIT. Disamping kesibukannya sebagai seorang dosen Marhaeni pernah dipercayakan sebagai Kepala Departemen Oikumene GMIM dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teologi UKIT. Saat ini dirinya mendapat kepercayaan menjadi Komisi Teologi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Komisi Pendidikan di Sinode AM Gereja-gereja di Sulawesi bagian Utara dan Tengah serta aktif di Jaringan Perempuan (Peneliti perempuan, budaya dan poitik) Indonesia Timur.

Marhaeni memiliki kepekaan yang tinggi untuk mengkritisi dinamika gereja dan masyarakat terutama berkaitan dengan kesetaraan jender. Dia selalu yakin dengan motto hidup “Ca wana Parukuan cawanua Pakaruan” yang artinya tidak ada yang disembah dan tidak ada yang menyembah. Dalam kultur Minahasa tidak ada yang membungkuk dan berdiri tegak karena filosofi itu. Dalam kehidupan masyarakat, tidak ada manusia yang harus menyembah, sama rata, sejajar, egalitir. Bahwa masing-masing orang punya peran yang berbeda tetapi signifikan. Masing-masing orang dapat memperlakukan diri sendiri sejajar dengan orang lain, dan memperlakukan orang lain sejajar dengan diri kita.

Pendiri sekaligus Ketua lembaga nirlaba, Lembaga Pendampingan Perempuan dan Anak (TeLu Sulut) dan Ketua Zero Human Trafficking Sulut (2023 s/d sekarang) ini kerap menjadi narasumber lingkup nasional dan internasional membahas pokok-pokok penting berkaitan dengan gereja dan masyarakat, kebudayaan, pemberdayaan perempuan, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta perdagangan manusia.

“Belakangan ini saya tertarik untuk mengkritisi tentang peran gereja dalam mengedukasi jemaat dan masyarakat menyusul terjadinya berbagai permasalahan destruktif dalam jemaat dan masyarakat,”katanya.

Marhaeni melakoni kesehariannya sebagai seorang dosen dengan terus memperlengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan kompetensi. Menurutnya, perempuan harus dihargai karena kompetensi dan kemampuannya bukan karena jender, seorang perempuan. Baginya ekklesia domestica yang semakin gencar digaungkan belakangan ini merupakan gerakan tepat guna membangun kesadaran bergereja yang dimulai dari unit keluarga, gereja terkecil. “Segala sesuatu yang akan dibenahi dan ditata harus dimulai dari dalam keluarga, termasuk di dalamnya pada pemahaman kesetaraan jender dan peran perempuan,” tegasnya.

Dalam perjalanan karir dan pelayanannya, keluarga memegang peranan penting dan sangat mendukung segala aktivitasnya. Istri dari Roy Tumiwa serta ibu dari Eka dan Deo memandang keluarga memiliki peran penting dalam kehidupannya. Marhaeni dan suaminya kerap memanfaatkan waktu senggang mereka dengan berkebun bersama. Baginya, keluarga adalah support system, tempat untuk mencurahkan seluruh isi hati. Di dalam keluarga dirinya boleh menceritakan apa adanya. Mereka sangat mengetahui siapa kita, dan menopang kita. Keluarga paling tahu, paling mengerti, tidak akan meninggalkan kita,”tutur Marhaeni.* (Mg-02)

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.