Beranda Nasional Budaya Curu, Pemaka dan Ronda Merupakan Tradisi Turun Temurun dari Leluhur Orang...

Budaya Curu, Pemaka dan Ronda Merupakan Tradisi Turun Temurun dari Leluhur Orang Manggarai

370
0
Gambar : Bapak Stefanus Satu, S. Pd Guru SMKN 1 Labuan Bajo.

IKNews, LABUAN BAJO – Kemarin, Senin 26 Juni 2023 warga Dusun Kaca Desa Golo Ketak Kecamatan Boleng melaksanakan penjemputan secara budaya terhadap seorang puteri kelahiran Dusun Kaca. Dia adalah Sr. Ma Martina Yanti, FMVI. Dia dijemput secara meriah karena telah menjawab YA secara mantap dan menyakinkan untuk bekerja sebagai pelayan Tuhan dan sesama sebagai seorang suster ordo FMVI. Saat sampai di ujung kampung (Pa,ang Beo), dia disambut dengan acara budaya penyambutan yaitu Pemaka, Penyerahan Tuak penyambutan (Tuak Curu) dan Ronda. 29/6/2023

Bapak Stefanus Satu, S.Pd, mantan Kepala Sekola SMKN 1 Labuan Bajo dua periode ini mengungkapkan, ini hanya untuk mengulas bagaimana motivasi dan perjuangan dari Sr. Yanti menjadi pelayan Tuhan dan sesama sebagai seorang suster, ini juga untuk mengetahui jenis-jenis ritus budaya Manggarai termasuk ritus penjemputan tamu yang dikenal dengan nama CURU.

Maksud yang terkandung dalam tulisan ini adalah memperkenalkan, mempertahankan, dan melestarikan budaya Manggarai sebagai warisan leluhur. Dengan demikian generasi muda Manggarai sekarang yang dikenal sebagai generasi Z mesti melek budaya sebagai warisan dan kekayaan daerah dan bangsa. Literasi Budaya, 29/6/2023.

CURU

Curu adalah kata bahasa Manggarai yang berarti Jemput/menjemput. Curu termasuk kelompok kata kerja ( Verb ). Dalam penggunaannya kata Curu diikuti oleh kata benda (Noun). Misalnya Curu anak/Jemput anak, curu pengantin/Jemput Pengantin, curu meka/Jemput tamu. Dalam pelaksanaannya, Curu juga lebih sering dilakukan pada tiga jenis konteks di atas. Pada tulisan ini saya lebih fokus pada Curu Meka yang sifatnya khusus, seperti tamu pemerintah, tamu rohaniwan/rohaniwati.

Pada acara penerimaan tamu (Tiba Meka) yang sifatnya khusus seperti tamu pemerintah atau rohaniwan/rohaniwati biasanya didahului dengan acara Jemput Tamu (Curu Meka).Acara Curu Meka yang sifatnya khusus ini biasanya dilakukan di ujung (Pa,ang) kampung dan melewati tiga tahap yakni Pemaka, Manuk dan Tuak Curu dan Ronda.

Apa itu Pemaka

Suku Manggarai terkenal dengan memiliki berbagai jenis budaya. Dalam hal penyambutan tamu terhormat, ada satu budaya Manggarai yang selalu dilaksanakan yang dikenal dengan nama Pemaka. Kata Pemaka sendiri berasal dari bahasa Manggarai. Pemaka sinonim dengan kata Ngater. Pemaka atau Ngater berarti ancam atau mengancam (v). Siapa yang mengancam dan diancam? Yang mengancam adalah pelaku atau setiap orang yang dipercayakan untuk melaksanakan ritus Pemaka.

Biasanya orang yang dipercayakan untuk membawakan Pemaka adalah mereka yang memiliki kemampuan merangkai kata-kata bahasa Manggarai bernuansa budaya. Pemaka merupakan salah satu unsur budaya Manggarai yang dilakukan pada saat penyambutan tamu terhormat di Pa,ang kampung.

Ada tiga unsur budaya yang tidak terpisahkan pada saat penjemputan tamu yaitu pemaka, penyambutan yang ditandai dengan penyerahan tuak curu dan Ronda.

Yohanes Lapan, seorang tokoh budaya yang ada di Dusun Kaca mengungkapkan, Pemaka itu Penyerahan Tuak Curu dan Ronda adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tiga unsur budaya ritus penjemputan ini bagai tiga batu tungku yang saling menguatkan dan saling menopang. Ketiga unsur budaya tersebut memiliki makna masing-masing.
Pertama Pemaka, berarti ritus adat penjemputan tamu yang dilakukan di Pa,ang beo.

Ritus ini dilakukan oleh seorang warga kampung yang memiliki kemampuan memahami dan menggunakan diksi bahasa budaya sehingga setiap kata yang diucapkannya terasa indah, seni, bermakna dan hikmat. Hikmahnya Ritus Pemaka itu selain karena kemampuan pelaksana Pemaka dalam memilih diksi yang bernuansa budaya, juga oleh karena busana dan perlengkapan yang digunakan pelaksana Pemaka. Dalam melaksanakan Pemaka biasanya pelaksana Pemaka memakai busana berkhas budaya. Bagi orang Manggarai pada umumnya busana yang digunakan seperti sarung (lipa) songke, baju putih lengan panjang, celana panjang putih, sapu yang diikat di kepala sebagai mahkota, tubirapa yang tergantung di dagu dan diikat di kepala. Sementara perlengkapan wajib yang harus ada adalah sebilah keris.

Tujuan Pemaka menurut Jhon Lendong selaku tokoh budaya dan juga Tua Golo Dusun Kaca, Desa Golo Ketak Kecamatan Boleng adalah menghalau semua setan atau roh-roh jahat yang datang bersama tamu yang disambut serta mengusir setan atau roh-roh jahat yang ada dan diam di kampung tempat tamu berkunjung. Tentu harapannya adalah pelaksanaan kegiatan penyambutan dan aktivitas lain yang terkait dengan tujuan kedatangan tamu berjalan lancar dan aman. Dijauhkan segala hambatan, tantangan termasuk sakit penyakit.

Gerakan kaki yang diperlihatkan pelaksana Pemaka sangat teratur. Kaki berjalan tiga kali ke depan sebanyak tiga langkah, demikian juga mundur. Setiap langkah maju selalu dituturkan kata-kata atau diksi bernuansa budaya dengan tema masing-masing. Bersamaan dengan langkah maju tiga kali selalu diacungkan keris setinggi muka pelaksana Pemaka dan diarahkan ke muka tamu yang dijemput.

Tema pertama dalam penuturan bahasa budaya pada saat Pemaka adalah Syukur. Tema yang menyatakan kegembiraan, bahagia dan syukur karena tamu sudah datang dan diterima dengan tulus dan senang hati. Hal itu diungkapkan dalam bahasa budaya. Misalnya “Kais nai Woko Cai, Nggalas nawa woko Manga. Naka lami cama neho wua pandang, kapu lami cama neho wua pau. Kapu lami, kapu toe pa,u , pola lami, pola toe gomal”. Tema kedua adalah pengusiran roh jahat. Pada tema ini bahasa budaya yang digunakan Pemaka bernuansa pengusiran roh-roh jahat atau setan yang datang bersamaan dengan tamu ataupun yang ada di kampung tempat tamu berkunjung. Misalnya “Ome manga darat one tana ata pande pangga salang, jaga le, pe,ang le. Ome manga putih sumir ata pande kose mose ndurik musi mai tuni, jaga le, pe,ang le”. Tema ketiga adalah tema harapan.

Pada tema ini Pemaka mengungkapkan bahasa budaya bernuansa harapan akan persatuan dan kesatuan yang kokoh, rezeki yang berlimpah. Misalnya “Porong uwa haeng wulang, langkas haeng tala (Terjemahan: Bertumbuh setinggi bulan dan bintang). Saung bembang ngger eta, wake caler ngger wa (Tumbuh dengan akar yang dalam, kuat dan kokoh dan daun yang lebat dan besar). Cama po,e ngger one, cama lewang ngger pe, ang. Tutu lugur, hamar lanar”.

Nilai yang bisa dipetik dari ritus Pemaka adalah pertama menjadi tuan rumah yang baik. Tamu adalah raja. Karena itu warga kampung sebagai tuan rumah harus mamu menjadi tuan rumah yang baik dengan memberikan pelayanan yang maksimal kepada tamu yang datang. Kedua, tuan rumah memberikan perlindungan (Protect) kepada tamu.

Menjadi tuan rumah yang baik tidak hanya dengan memberikan pelayanan makan dan minum, tetapi juga mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada tamu.

Pemaka dibuat di Pa,ang Kampung

Menurut kebiasaan yang sering penulis saksikan, Pemaka dilaksanakan di ujung kampung. Kampung yang bentuknya memanjang, ujungnya ada dua. Ujung mana yang dapat digunakan untuk dilakukan pemaka tergantung dari ujung mana tamu itu datang dan disambut. Tempat di ujung kampung dimana tamu disambut ditandai dengan adanya BOK. Bok (Bahasa Manggarai) dalam konteks Penjemputan tamu berarti bagunan hiasan terbuat dengan cara memancang dua buah kayu atau bambu setinggi lk 4 meter di pinggir kiri dan kanan jalan. Pada bagian atas dua kayu yang dipancang itu dihubungkan dengan kayu palang supaya lebih kuat dan kokoh. Pada bagian tengah kayu palang itu diikat sebuah kayu atau bambu secara berdiri dengan tingginya lk 1 meter. Pada bagian atas kayu ini dipalang dengan kayu sepanjang setengah meter sehingga membentuk salip. Setiap batang kayu atau bambu pembentuk rangka bangunan hiasan tersebut ditutup dengan cara diikat daun kelapa yang masih muda.

Pertanyaannya adalah mengapa Pemaka dibuat di ujung kampung. Menurut kepercayaan orang Manggarai, kekuatan roh halus atau roh jahat atau setan yang bermaksud menggangu ketenangan, kedamaian warga kampung datang lewat Pa,ang kampung. Keyakinan itu didukung oleh ritus “Keti Kembung” (pemutusan hubungan antara yang masih hidup dengan yang sudah meninggal) yang dilakukan di Pa,ang kampung.

Dalam penuturan keti kembung terdapat diksi “ce,e mai wae hami, sale mai wae hau”. Hami ( bahasa Manggarai) artinya kami yang menunjukkan keluarga yang masih hidup. Hau ( bahasa Manggarai ) artinya engkau yang menunjukkan keluarga yang sudah meninggal. Wae berarti air atau sungai yang menunjukkan batas antara yang masih hidup dengan yang sudah meninggal. Kalaupun sebetulnya di Pa,ang kampung itu belum tentu ada air. Pa,ang menjadi batas bagi setan, roh jahat untuk tidak boleh melewati batas dan masuk kampung mengganggu setiap orang termasuk tamu yang disambut selama acara berlangsung. Acaranya berlangsung aman, lancar dan meriah.

Kedua, Penyerahan Ayam dan Tuak Penjemputan. Ritus Penyerahan ayam jantan putih dan tuak putih melambangkan ketulusan dan kesucian hati menerima tamu yang datang. Ketulusan dan kesucian hati itu dilambangkan dengan ayam jantan warna putih dan tuak putih. Selain itu penyerahan ayam jantan putih dan tuak putih juga bermakna bahwa selama kunjungan berlangsung, tamu jang kwatir dan cemas soal makan dan minum. Karena tuan rumah atau warga kampung dipastikan memberikan pelayanan yang maksimal termasuk makan dan minum kepada tamu sebagai seorang raja. Tamu tidak dibiarkan sengsara. Bahasa budaya yang bermakna seperti di atas, misalnya ” Neka hang pau puar, neka inung wae tumbur”

Ketiga Ronda, yaitu tarian disertai nyanyian diiringi gong dan gendang yang khusus dipersiapkan untuk acara penjemputan. Ronda dimulai dari Bok penjemputan sampai di pintu gerbang halaman rumah atau kemah acara. Lirik-lirik lagu bernuansa riang gembira seperti kata-kata naka, naring, hiang, dan sebagainya. tutupnya.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini