IKNews, Kotamobagu – Kamis pagi, 11 September 2025, langit Kotamobagu berwarna biru jernih. Awan putih bergerak perlahan, sementara terik matahari menimpa Alun-alun Boki Hontinimbang. Di tengah hiruk-pikuk kota, dua sosok perempuan berdiri tegak. Mereka tidak bersuara, tidak berteriak. Namun dari keheningan itulah, pesan yang mereka bawa terasa menggema.
Mereka adalah Sri Paputungan dan Citra Tomaili. Wajah mereka tertutup masker, kepala dilindungi topi putih, dengan syal Palestina terikat di leher. Sejak pukul sembilan pagi hingga menjelang siang, mereka membentangkan spanduk sederhana. Tulisan di atas kain putih itu tegas dan merah menyala: “Jangan Lupakan Gaza”, “Gaza Masih Berdarah”, “Genosida Masih Belum Berhenti.”
Tidak ada panggung. Tidak ada pengeras suara. Hanya diam, spanduk, dan tatapan mata orang-orang yang lewat. Sesekali angin mengibaskan kain, membuat huruf-huruf itu seakan ikut bersuara.
Di sekeliling mereka, kehidupan terus bergerak: anak-anak tertawa sambil berlari kecil, pedagang asongan menawarkan jajanan, kendaraan melintas tanpa henti. Namun di antara keriuhan itu, aksi sunyi dua perempuan ini justru terdengar paling lantang.
“Kami Hanya Ingin Mengingatkan”
Bagi Sri, aksi kecil ini lahir dari rasa gelisah. Ia merasakan kepedulian terhadap Palestina mulai pudar, tergantikan kesibukan dan berita-berita lain.
“Kami tidak ingin ingatan itu mati. Sampai hari ini Gaza masih dijajah, ditindas, dibantai. Kami hanya ingin mengingatkan kembali, bahwa ada saudara kita yang sedang berjuang untuk sekadar hidup,” ucap Sri, suaranya pelan namun bergetar.
Citra menimpali dengan mata yang tampak basah.
“Kami mungkin hanya dua orang di kota kecil, tapi kami percaya pesan kemanusiaan bisa berjalan jauh. Harapan kami, siapa pun yang melihat aksi ini bisa menyalakan kembali rasa peduli, entah dengan doa, donasi, atau sekadar tidak mendukung produk yang berafiliasi dengan penindasan,” katanya.
Luka yang Tak Pernah Kering
Sejak 1967, Palestina hidup dalam penjajahan. Lebih dari 2,3 juta warga Gaza terkurung dalam blokade panjang—makanan, air bersih, listrik, obat-obatan, semua serba terbatas. Amnesty International menyebut situasi ini sebagai bentuk apartheid modern.
Sejak Oktober 2023, gelombang serangan besar kembali menghantam. Data PBB mencatat lebih dari 40 ribu jiwa melayang, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Rumah-rumah hancur, sekolah runtuh, rumah sakit kewalahan. Puluhan ribu orang kini menjadi pengungsi di tanah kelahirannya sendiri.
Bagi Sri dan Citra, angka itu bukan sekadar statistik. Mereka membayangkan wajah-wajah anak kecil yang kehilangan keluarga, para ibu yang meratapi jenazah, dan generasi muda yang tumbuh di tengah puing-puing.
Sunyi yang Lebih Lantang dari Riuh
Meski hanya berlangsung dua jam, aksi itu meninggalkan jejak emosional. Warna merah pada tulisan “Gaza Masih Berdarah” tampak begitu kontras dengan birunya langit Kotamobagu—seakan menorehkan luka di ruang publik yang biasanya penuh tawa dan riuh aktivitas.
Dari sebuah kota kecil di Sulawesi, Sri dan Citra menyalakan kembali obor ingatan. Mereka mengingatkan bahwa Palestina bukanlah cerita yang jauh, melainkan luka kemanusiaan yang menyentuh hati siapa pun yang masih punya nurani.
Aksi itu sederhana, nyaris sepi. Namun justru dalam kesunyian itu, suara mereka terasa lebih nyaring. Seolah berbisik pada dunia:
“Jangan biarkan ingatan ini mati. Karena ketika kepedulian tetap hidup, harapan akan selalu ada.”tutup Sri. ***