IKNews, BATANG – Proyek pembangunan gedung baru di SMP Takhassus Rafirna, Kecamatan Tersono, Kabupaten Batang, diduga jauh dari kata transparan. Di balik nominal anggaran fantastis sebesar Rp846 juta yang digelontorkan melalui APBN 2025, berbagai indikasi pelanggaran ditemukan di lapangan—dari pelibatan pihak ketiga secara tidak terbuka, hingga abainya standar keselamatan kerja.
Investigasi tim media di lokasi proyek menemukan pemandangan yang mengkhawatirkan. Tak ada papan informasi proyek yang biasanya wajib terpasang sejak awal pengerjaan. Papan ini bukan sekadar formalitas—melainkan bentuk akuntabilitas publik atas penggunaan uang negara. Namun di sini, publik justru disuguhkan ‘keheningan’ yang mencurigakan.
“Papan transparansi dan perlengkapan K3 sudah ada, tapi belum dipasang,” ujar seseorang berinisial KMD yang disebut-sebut sebagai pihak ketiga dalam pengerjaan proyek ini, saat dikonfirmasi via telepon. Jawaban itu justru menimbulkan lebih banyak tanya daripada kejelasan.
Skema Swakelola yang Diabaikan
Padahal, proyek ini merupakan bagian dari Program Revitalisasi Satuan Pendidikan milik Direktorat Jenderal PAUD Dasmen, Kemendikbudristek. Program tersebut sejak awal dirancang dengan skema swakelola, di mana pelaksanaan dilakukan langsung oleh pihak sekolah bersama masyarakat. Filosofinya jelas: membangun rasa memiliki, sekaligus memberdayakan ekonomi lokal.
Namun di lapangan, kenyataannya berbanding terbalik. Pekerja bangunan yang ditemui justru menyebut bahwa proyek ini ditangani oleh “pemborong” dari luar daerah, yakni sosok KMD. Beberapa buruh bahkan mengaku tidak berasal dari lingkungan sekitar sekolah. Ini menghapus potensi pemberdayaan warga lokal dan menyimpang dari semangat swakelola.
Abai Keselamatan dan Dugaan Material Ilegal
Tak hanya persoalan administrasi dan pelibatan pihak luar, aspek keselamatan kerja pun tampaknya dilupakan. Sejumlah pekerja terlihat beraktivitas tanpa Alat Pelindung Diri (APD) seperti helm, rompi, atau sepatu pengaman. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja secara tegas mewajibkan pelaksana proyek untuk mematuhi standar K3.
Lebih jauh lagi, tim juga menerima informasi terkait dugaan penggunaan material alam dari sumber tidak resmi, seperti pasir dan batu kali, yang ditengarai diambil tanpa izin dari lokasi sekitar. Jika benar, ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tetapi juga bisa masuk ranah pidana.
Kepala Sekolah Menghilang dari Sorotan
Saat diminta klarifikasi, Kepala SMP Takhassus Rafirna selaku penanggung jawab utama proyek belum bisa ditemui. Hingga berita ini diterbitkan, pihak sekolah tak kunjung memberikan pernyataan resmi.
Proyek yang seharusnya menjadi simbol kemajuan dan perbaikan fasilitas pendidikan, kini justru menyisakan tanda tanya besar: di mana pengawasan, dan siapa yang harus bertanggung jawab? Saat dana publik dikelola tanpa transparansi, dan program pemberdayaan justru menjadi lahan outsourcing terselubung, masyarakat berhak untuk curiga—dan bertanya lebih keras.*
Peliput: Agung