IKNews, OPINI – Tata kota yang semakin semrawut menjadi cerminan lemahnya arah kebijakan pemerintah daerah. Salah satu potret nyata dari kondisi ini adalah maraknya aktivitas pedagang kaki lima (PKL) yang menjadikan trotoar sebagai tempat berjualan. Fenomena ini dapat ditemui di hampir setiap sudut kota, mengganggu aksesibilitas pejalan kaki dan menambah kesemrawutan ruang publik.
Farshah Paputungan Menteri Luar Kampus BEM UNG 2025 menegaskan bahwa keberadaan PKL sejatinya turut menggerakkan ekonomi rakyat dan menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal. Namun, ia mengingatkan bahwa aktivitas ekonomi tersebut harus tetap sejalan dengan kepentingan publik, termasuk hak pejalan kaki atas ruang yang aman dan nyaman.
Kebijakan pemerintah yang dinilai abai terhadap regulasi dan dampak sosial dari kondisi ini memicu kegelisahan publik. Ironisnya, alih-alih menyelesaikan persoalan, pimpinan kota justru melontarkan pernyataan kontroversial yang menyatakan bahwa berjualan di trotoar diperbolehkan, asalkan dilakukan secara bersih dan tertib.
Pernyataan tersebut tidak hanya kontraproduktif, tetapi juga bertentangan dengan sejumlah aturan hukum yang secara tegas mengatur fungsi trotoar. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, trotoar merupakan fasilitas yang disediakan khusus untuk pejalan kaki dan tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain yang mengganggu kenyamanan atau keselamatan. Bahkan dalam Pasal 274 UU tersebut, disebutkan bahwa penggunaan jalan atau fasilitas pendukung secara tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dikenai sanksi pidana.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, khususnya Pasal 34, menyebutkan bahwa trotoar tidak boleh digunakan untuk kegiatan lain di luar fungsi dasarnya, kecuali telah diatur dan mendapat izin secara legal. Ketika pernyataan pejabat justru memberi pembenaran atas pelanggaran fungsi ruang ini, maka wajar jika publik mempertanyakan integritas dan kapasitas kepemimpinan daerah.
“Publik mengalami kegelisahan. Sejak awal persoalan ini mencuat, Wali Kota sebagai pengambil kebijakan justru tampak menueup mata atau bahkan buta. terhadap regulasi dan kondisi di lapangan. Pernyataan yang memperbolehkan berjualan di trotoar asal tertib dan bersih menunjukkan kegagalan dalam memahami fungsi ruang kota. Pertanyaannya: siapa yang perlu ditertibkan? PKL, atau justru pola pikir sang pengambil kebijakan?” ujar Farshah Paputungan.
Farshah juga menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam pengambilan keputusan. Pemerintah, katanya, tidak cukup hanya bersandar pada pendekatan pragmatis, melainkan harus berpijak pada kerangka hukum dan keadilan sosial. Bagaimana mungkin kota bisa tertata, jika kebijakannya justru menormalisasi pelanggaran terhadap ruang publik?
“Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang partisipatif dan inklusif agar tercipta tata kelola kota yang adil dan berkelanjutan,” tambahnya.
Di beberapa titik seperti di Jalan Pandjaitan, kondisi semrawut terlihat nyata. Lapak-lapak PKL memenuhi jalur pedestrian, bahkan sebagian memakan badan jalan. Ditambah lagi dengan kendaraan yang parkir sembarangan, situasi ini tidak hanya mengganggu pejalan kaki, tetapi juga membahayakan keselamatan pengguna jalan lainnya. Padahal, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan tegas menyatakan bahwa setiap penyelenggaraan pemanfaatan ruang harus menjamin kenyamanan, keamanan, dan keberlanjutan fungsi ruang publik.
Farshah Paputungan menilai bahwa permasalahan ini mencerminkan kelalaian pemerintah dalam menciptakan ruang kota yang adil dan teratur.
“Memberikan ruang untuk PKL itu baik. Namun tanpa sistem pengawasan dan penataan yang tepat, akan timbul konflik ruang antara pedagang dan pengguna jalan lainnya. Pemerintah harus hadir secara aktif, bukan sekadar memberi imbauan,” tegasnya.
Pemerintah daerah juga wajib tunduk pada Peraturan Walikota Gorontalo Nomor 39 tahun 2019 tentang pelaksanaan atas peraturan daerah kota gorontalo nomor 2 tahun 2017 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima, yang sangat jelas melarang aktivitas berdagang di atas trotoar. Jika hal ini diabaikan, maka pemerintah berpotensi melegalkan pelanggaran hukum secara terang-terangan.
Kondisi ini menegaskan pentingnya penataan ruang kota yang partisipatif, di mana pemerintah, pelaku usaha kecil, dan masyarakat umum duduk bersama mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Jika tidak segera ditangani secara serius dan sesuai hukum, persoalan ini akan terus berulang dan merugikan banyak pihak.*
Laporan : Redaksi