Beranda Opini Dari Kebijakan ke Pertarungan Pribadi: Analisis Media dalam Polarisasi Konflik Elite Gorontalo

Dari Kebijakan ke Pertarungan Pribadi: Analisis Media dalam Polarisasi Konflik Elite Gorontalo

49
0
Gambar: Dr. Imran Kamaruddin, SS, M.I.Kom (Foto : Istimewa).

IKNews, GORONTALO – Rentetan pemberitaan yang meliput perseteruan antaraWali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, dan GubernurGorontalo, Gusnar Ismail, telah menjadi tontonan publikyang mengkhawatirkan. Lebih dari sekadar laporanjurnalistik, narasi yang berkembang di media secaraaktif membentuk dan memperdalam polarisasi di tengahmasyarakat, menggeser diskursus dari substansikebijakan menjadi drama personal dan pertarunganantar kubu.

Fenomena ini dapat dianalisis melaluibeberapa teori media klasik yang menjelaskanbagaimana narasi dibentuk dan memengaruhi persepsipublik.
Dalam Teori Media dalam Praktik Polarisasi, konflikyang tersaji di media tidak lagi berpusat pada pencariansolusi atas isu-isu krusial bagi daerah.

Sebaliknya, iamenjadi contoh nyata bagaimana media berperansebagai amplifier. Panggung politik Gorontalo saat initak ubahnya sebuah pertunjukan drama yang menyitaseluruh perhatian. Di atas panggung itu, dua aktorutama, Wali Kota Adhan Dambea dan Gubernur GusnarIsmail, memainkan lakon perseteruan yang seolah takberkesudahan.

Media, dengan sorotan lampukameranya, berperan sebagai sutradara yang memastikan setiap babak pertarungan ini tersaji secaradramatis kepada publik. Namun, di balik riuh tepuktangan dan cemoohan para pendukung, ada naskah asliyang terlupakan: naskah tentang pelayanan publik dan kemajuan daerah.
Apa yang seharusnya menjadi diskursus utama kinihanya menjadi catatan kaki dalam pertunjukan. Isu-isupembangunan kalah menarik dibandingkan narasi”serangan balik” , klaim
“pengkhianatan” personal , ataubahkan sekadar cerita siapa menghindari siapa di dalam pesawat.

Media, dalam hal ini, bukan hanya melaporkan, tetapisecara aktif mengamplifikasi drama ini. Denganmembingkai konflik ini sebagai pertarungan pribadi , media mengajak publik bukan untuk berpikir kritis, melainkan untuk berpihak secara emosional. Teknik iniefektif mengubah warga negara menjadi suporter.

Terciptalah kubu-kubu yang jelas: “kita” (pendukungPemkot/Wali Kota) melawan “mereka” (pendukungPemprov/Gubernur). Loyalitas pada kubu menjadi lebihpenting daripada kebenaran atau solusi terbaik bagimasyarakat.

Dampaknya terasa hingga ke sendi-sendipemerintahan. Ketika energi para pemimpin terkurasuntuk saling serang di panggung media, pekerjaan teknis dan fundamental menjadi terbengkalai.

Sudah saatnya tirai panggung drama ini diturunkan. Elite politik harus sadar bahwa mereka adalah pelayanan publik, bukan aktor yang mengejar popularitas lewat sensasi. Media memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan sorot lampunya kembali pada substansi, menjadi fasilitator dialog yang konstruktif, bukansekadar panggung gladiator politik. Dan yang terpenting, masyarakat harus berhenti menjadipenonton pasif. Kemampuan untuk menuntut akuntabilitas nyata dan membedakan antara substansimasalah dengan sensasi drama adalah langkahpertama untuk mengembalikan politik pada hakikatnya: sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan bersama, bukan sekadar sebuah pertunjukan tanpa akhir.

Dalam teori lain misalnya Teori Penetapan Agenda (Agenda-Setting Theory), media mungkin tidak berhasil memberitahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi sangat berhasil memberitahu kita tentang apa kita harus berpikir. Ada sebuah adagium lawas dalam studi media yang kekuatannya semakin terbukti di era digital: pers mungkin tidak berhasil menentukan apa yang Anda pikirkan, tetapi ia sangat berkuasa menentukan tentangapa Anda berpikir. Teori ini, yang dikenal sebagai Teori Penetapan Agenda (Agenda-Setting Theory), tampak berjalan sempurna dalam panggung politik Gorontalo saat ini.

Melalui rentetan pemberitaan yang intens, media telah berhasil menetapkan “konflik personal elite” antara WaliKota dan Gubernur sebagai agenda utama di benakpublik. Setiap gerak-gerik, pernyataan tajam, hinggasejarah personal kedua tokoh diangkat menjadi tajukutama, lengkap dengan bumbu drama dan bahasaemosional yang provokatif. Pertunjukan ini suksesmenyita perhatian, namun ada harga mahal yang harusdibayar: matinya dialog tentang isu-isu kebijakan yang nasibnya jauh lebih krusial bagi daerah.
Inilah dampak paling berbahaya dari kekuatan agenda media. Fokus publik secara sistematis dialihkan. Perdebatan publik pun beralih dari pertanyaansubstansial seperti “bagaimana solusi terbaik?” menjadipertanyaan trivial layaknya menonton pertandingan: “siapa yang memulai dan siapa yang akan menang?”. Ruang publik tidak lagi diisi dengan adu gagasan untukkemajuan, melainkan adu kekuatan untuk supremasipersonal.

Ketika agenda media didominasi oleh konflik, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengawasidan menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan yang sebenarnya. Para elite politik pun, sadar atau tidak, mungkin akan lebih tergoda untuk bermain drama demi merebut perhatian media ketimbang bekerja dalamsunyi untuk menyelesaikan masalah riil. Inilah saatnyapublik sebagai konsumen informasi sadar akan agenda yang sedang disajikan dan mulai menuntut media untukmengarahkan sorotannya kembali pada isu-isu yang benar-benar penting bagi kehidupan mereka.

Dampak dari pemberitaan semacam ini sangat jelas, ruang publik yang sehat terkikis. Jika terus-menerusdisuguhi politik sebagai drama, publik dapat mengalamiapa yang disebut .

Ini adalah momen krusial bagi semua pihak untukberefleksi. Dengan memahami kerangka kerja media ini, menjadi jelas bahwa tanggung jawab untuk meredampolarisasi tidak hanya terletak pada niat baik para aktorpolitik untuk menahan diri , tetapi juga pada kesadaranstruktural media untuk kembali ke perannya sebagaifasilitator dialog yang konstruktif.

Pada akhirnya, masyarakat sebagai konsumeninformasi harus lebih cerdas dan kritis. Kemampuanuntuk membedakan antara substansi masalah yang nyata dengan sensasi drama yang dibingkai media adalah kunci utama untuk meredam polarisasi dan menuntut akuntabilitas sejati dari para pemimpin yang telah mereka pilih.

Penulis : Dr. Imran Kamaruddin, SS, M.I.Kom

Laporan : Redaksi