Beranda Opini Cinta Murni dan Jalan Filsafat: Sebuah Renungan Pribadi

Cinta Murni dan Jalan Filsafat: Sebuah Renungan Pribadi

280
0
"Di jalan sunyi pencarian makna, aku temukan cinta bukan dalam bentuk—tapi dalam kesadaran." Gie. (Ist)

Oleh Yogi Farlin Mokoagow, S.Kom

Aku adalah seorang pencari. Sejak lama aku meyakini bahwa hidup ini bukan sekadar rutinitas biologis atau pencapaian-pencapaian material, melainkan sebuah perjalanan batin untuk mengungkap tabir alam semesta ini—tabir yang menyelimuti kebenaran, makna, dan cinta.

Di tengah pencarian itu, aku menemukan bahwa cinta murni bukan sekadar perasaan, bukan pula hubungan antar manusia semata. Cinta murni, dalam pandanganku, adalah entitas non-materi, sesuatu yang hanya dapat dipahami oleh akal murni, bukan oleh emosi atau persepsi fisik.

Cinta murni tidak bisa dijelaskan melalui analogi duniawi seperti getaran, energi, atau daya tarik. Karena semua itu masih berada dalam ranah materi. Cinta sejati melampaui bentuk—ia adalah kesadaran tertinggi yang hanya dapat disentuh oleh jiwa yang telah membersihkan dirinya dari hijab pengetahuan yang menipu.

Dan di sinilah peran filsafat menjadi kunci. Banyak orang menganggap filsafat hanya sebagai jalan berpikir. Tapi bagiku, filsafat adalah proses penyucian—jalan akal yang jujur untuk mengurai apa yang semu, menantang ilusi, dan akhirnya membuka ruang bagi kesadaran yang jernih.

Cinta dan kebenaran, dalam pandanganku, bukan dua hal yang terpisah. Cinta adalah wajah dari kebenaran yang hidup. Ketika seseorang menemukan kebenaran, ia tidak hanya tercerahkan secara intelektual, tapi juga terpenuhi oleh cinta yang murni, yang tidak mengharap imbalan apa pun, karena ia bersumber dari kebaikan itu sendiri.

Namun cinta murni bukan berarti harus menyepi. Banyak yang memilih jalan kesendirian untuk mencapai ketenangan batin, tapi aku meyakini bahwa cinta sejati justru ditemukan dalam keterlibatan—dalam menjadi manfaat bagi semua makhluk. Manusia diciptakan untuk hadir, bukan untuk menghindar. Maka jalan cinta adalah jalan memberi, melayani, dan berbuat tanpa mengharap kembali.

Tapi itu tidak mudah. Karena yang paling sulit dalam memberi adalah menjaga hati tetap murni. Dan di sinilah aku meyakini bahwa kunci dari segalanya adalah ilmu ikhlas. Ilmu ini tidak cukup dibaca, tapi harus dijalani—melalui latihan batin, kesadaran diri, dan yang paling utama: memperbanyak rasa syukur.

Syukur menjadikan hati selalu penuh, tidak rakus, tidak sombong. Dalam syukur, tidak ada tuntutan, tidak ada luka karena harapan. Yang ada hanya kebeningan jiwa yang ingin terus memberi, karena merasa telah terlalu banyak diberi.

Di sinilah akhirnya aku menyimpulkan:

Filsafat membersihkan jalan, syukur menyuburkan hati, dan ikhlas menyucikan niat. Maka cinta murni bukan tujuan akhir—tapi ia akan datang sendiri kepada mereka yang hidup dengan sadar, memberi dengan tulus, dan terus bersyukur atas setiap detik keberadaan.

Aku Yogi Farlin Mokoagow, seorang sarjana komputer dari STMIK Multicom Bolaang Mongondow tidak hanya ingin memahami sistem logika atau teknologi dunia, tapi juga ingin menyelami hakikat terdalam dari keberadaan itu sendiri.

Karena aku percaya, hanya dengan mengenal cinta murni, seseorang benar-benar memahami kenapa ia ada di alam semesta ini.***