IKNews, MALUKU — Empat tahun berlalu sejak bagang milik nelayan kecil bernama Yamin hancur ditabrak kapal perusahaan, keadilan tak kunjung berlabuh. Peristiwa yang terjadi di perairan Seram Bagian Barat pada 7 Mei 2021 itu justru berakhir dengan dua kali penghentian penyidikan oleh kepolisian, memunculkan tanda tanya besar soal keberpihakan hukum di Maluku.
Menurut penuturan keluarga korban, kapal bernama Karya Anugerah—yang dikaitkan dengan PT Sumber Karya Anugerah—menabrak bagang milik Yamin hingga rusak berat. Bagang tersebut bukan sekadar alat tangkap, melainkan satu-satunya sumber penghidupan bagi keluarga nelayan itu.
Tak lama setelah kejadian, laporan resmi dilayangkan ke Polres Seram Bagian Barat (SBB). Namun, alih-alih berlanjut ke meja hijau, kasus ini justru dihentikan dengan alasan klasik: kurang alat bukti. Padahal, keluarga korban menyebut nahkoda kapal telah mengakui perbuatannya dan sempat menyatakan kesediaan mengganti kerugian.
“Kalau sudah mengaku dan ada kerusakan nyata di laut, lalu bukti apa lagi yang dicari?” kata salah satu anggota keluarga Yamin kepada wartawan.
Merasa ada yang tidak beres, Yamin kembali mencoba peruntungan hukum pada 2023 dengan melapor ke Polda Maluku. Harapan itu kembali pupus. Kepolisian daerah kembali menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan yang sama, membuat nelayan kecil itu kian terjepit tanpa kepastian.
Diduga Penuhi Unsur Pidana
Sejumlah pemerhati hukum menilai penghentian perkara ini janggal. Insiden tersebut dinilai berpotensi melanggar ketentuan pidana, mulai dari pasal kelalaian dalam KUHP hingga kewajiban tanggung jawab perusahaan dan nakhoda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pelayaran.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, proses hukum seolah berhenti di tengah laut—tanpa arah dan tanpa jawaban yang memuaskan.
Sorotan juga mengarah ke Syahbandar Seram Bagian Barat. Masyarakat nelayan menilai institusi tersebut tidak menjalankan fungsi pengawasan dan penanganan kecelakaan laut secara optimal. Absennya sikap tegas Syahbandar memperkuat kesan adanya pembiaran dalam kasus ini.
Di kalangan nelayan, beredar dugaan adanya kompromi di balik layar yang membuat perkara ini berulang kali kandas. Meski belum terbukti, kecurigaan itu muncul karena kasus melibatkan kapal perusahaan besar, sementara korban hanyalah nelayan tradisional.
“Kami ini kecil dan miskin. Bagang kami dihancurkan, lalu hukum ikut menghancurkan harapan kami,” ujar perwakilan keluarga Yamin dengan nada getir.
Keluarga korban bersama komunitas nelayan kini mendesak Mabes Polri turun tangan langsung. Mereka juga meminta evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Polres SBB dan Polda Maluku, serta pemeriksaan terhadap pihak perusahaan pemilik kapal.
Tak berhenti di situ, suara nelayan bahkan diarahkan ke Presiden RI, Prabowo Subianto, agar negara hadir membela masyarakat pesisir yang merasa tersisih oleh kekuatan modal.
“Kami tidak menuntut macam-macam. Kami hanya ingin keadilan dan ganti rugi. Kalau hukum tidak bisa melindungi nelayan kecil, lalu untuk siapa hukum itu dibuat?” tegas seorang tokoh nelayan setempat.* (Mg01)


