IKNews, TANJUNG SELOR – Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPRD Bulungan bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), 15 Juli 2025, berubah menjadi panggung kritik tajam terhadap carut-marut pengelolaan sektor pendidikan di daerah ini. Di bawah pimpinan Ketua Komisi I Rozana Bin Serang, DPRD secara gamblang menyoroti berbagai persoalan krusial yang selama ini menimbulkan keresahan publik—dari transparansi anggaran, sengketa lahan sekolah, hingga pungutan liar berkedok iuran.
Rozana tak menutupi kekesalannya terhadap informasi simpang-siur seputar penyusunan anggaran pendidikan. Ia menegaskan, Komisi I tidak akan membiarkan ada “ruang abu-abu” dalam pengelolaan keuangan sektor pendidikan. Tuduhan publik tentang ketertutupan Disdikbud dalam penyusunan anggaran sempat mencuat, meskipun dalam rapat dijelaskan bahwa masalah tersebut hanya bersumber pada miskomunikasi internal.
“Kalau memang hanya miskomunikasi, kita akan kawal terus prosesnya. Tapi jangan jadikan itu tameng untuk menghindar dari transparansi. Anggaran pendidikan bukan ruang gelap yang bisa dikelola seenaknya,” tegas Rozana usai rapat.
Namun, isu anggaran bukan satu-satunya yang mengusik nurani wakil rakyat. Komisi I juga menyoroti persoalan lahan SDN 015 Tanjung Selor di kawasan Sabanar Lama yang hingga kini status hukumnya masih abu-abu. Sengketa lahan yang telah berlangsung puluhan tahun itu dinilai sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan mengganggu keberlangsungan pendidikan.
“Ini persoalan serius yang tidak bisa terus dibiarkan. Puluhan tahun tidak ada penyelesaian, ini jelas kelalaian. Kami minta Dinas segera bergerak menyelesaikan secara hukum,” desak Rozana.
Kondisi fisik sekolah yang rusak parah turut menjadi sorotan. Komisi I menuntut adanya pendataan menyeluruh, terutama terhadap sekolah-sekolah dasar yang kerap luput dari perhatian. Rozana menegaskan, jika tidak masuk dalam APBD tahun berjalan, maka perbaikan harus menjadi prioritas utama dalam anggaran 2026.
“Jangan sampai retorika ‘pendidikan adalah prioritas’ hanya jadi slogan. Kalau dibiarkan, anak-anak kita belajar di sekolah yang nyaris roboh. Itu pengabaian,” ujarnya.
Tak berhenti di sana, Rozana juga mengungkap laporan masyarakat soal pungutan liar di sekolah. Modusnya, sekolah menarik iuran untuk keperluan alat kebersihan hingga kegiatan rutin lainnya—hal yang menurutnya seharusnya dibiayai dari dana BOS, BOSDA, dan pos anggaran resmi lainnya.
“Ada sekolah yang minta uang untuk beli sapu. Ini tidak masuk akal. Kita punya dana BOS, lalu kenapa orang tua yang harus menanggung? Ini beban tambahan yang tak bisa dibenarkan. Kami minta aturan tegas diterbitkan untuk melarang praktik seperti ini,” kata Rozana, menambahkan bahwa dugaan praktik pungli ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan.
Menanggapi kritik keras ini, Kepala Disdikbud Bulungan, Suparmin, mengaku akan menindaklanjuti seluruh catatan dan sorotan dari Komisi I.
“Apa yang bisa kami kerjakan saat ini, akan langsung ditindaklanjuti. Yang belum akan kami prioritaskan tahun depan,” ujarnya singkat.
Meski bernada responsif, DPRD memastikan akan terus mengawal dan mengevaluasi kinerja Disdikbud, terutama pada titik-titik rawan yang selama ini dianggap dibiarkan tanpa solusi konkret.
(/slf/adv/)