IKNews, LABUHANBATU – Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Labuhanbatu Hj. Ellya Rosa Siregar, S.Pd, MM menghadiri acara pagelaran wayang kulit dalam rangka malam tirakatan mengisi Tahun Baru Islam 1 Muharram 1446 H di Desa Sei Nahodaris Kecamatan Panai Tengah. Minggu (14/07/2024).
“Pertunjukan wayang kulit merupakan acara puncak dari aneka rangkaian kegiatan yang dilaksanakan pada momentum tahunan tersebut, yang sebelumnya telah dilaksanakan tasyakuran pada malam 1 Muharram”, ujar Plt. Bupati.
Plt. Bupati menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan seni tradisional yang unik, salah satunya adalah seni pertunjukan wayang kulit. Wayang kulit adalah sebuah bentuk teater bayangan tradisional yang telah menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang paling terkenal.
Wayang kulit memiliki sejarah yang panjang di Indonesia, dengan akar yang mencapai ribuan tahun yang lalu. Meskipun ada berbagai teori tentang asal-usulnya, banyak yang setuju bahwa wayang kulit pertama kali muncul di pulau Jawa dan Bali. Wayang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bayangan” atau “gambar,” dan kulit mengacu pada bahan kulit yang digunakan untuk membuat figur dalam pertunjukan ini, ungkap Plt Bupati.
Menurutnya, Sejarah wayang kulit sangat terkait dengan agama Hindu dan Buddha, yang masuk ke Indonesia pada abad ke-1 Masehi. Pertunjukan wayang kulit awalnya digunakan sebagai sarana penyampaian ajaran agama dan cerita epik seperti Mahabharata dan Ramayana. Namun, seiring waktu, wayang kulit juga memasukkan elemen-elemen lokal dan mitologi pribumi, menciptakan paduan seni yang unik.
Plt Bupati berpesan agar masyarakat Labuhanbatu terus menjaga dan melestarikan budaya peninggalan leluhur, karena dari sana banyak yang bisa dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk diketahui, tahun baru Islam juga sering disebut dengan bulan Suro oleh masyarakat suku Jawa.
Sebelum dilakukannya pertunjukan tersebut dengan mengangkat tema” melestarikan budaya di Desa Sei Nahodaris”, acara dirangkai dengan doa bersama ruat bumi, dan makan bersama tradisi suku jawa menggunakan lontaran daun pisang, sebagai simbol kebersamaan. (Heri)