IKNews, JATIM — Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Jawa Timur menyoroti serius masih tingginya kasus gizi buruk dan stunting di sejumlah daerah, termasuk di Kabupaten Nganjuk. Kasus terbaru yang menimpa seorang anak berusia tujuh tahun di Desa Kelutan, Kecamatan Ngronggot, menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah agar tidak abai terhadap kesehatan anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Tim suarajatimpost.com mendapati bahwa bocah bernama Apri (7) kini tengah dirawat intensif di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, setelah sebelumnya sempat menjalani perawatan di RSD Kertosono. Kondisinya dinyatakan kritis karena kekurangan gizi berat dan komplikasi medis. Saat pertama kali dirawat, berat badannya hanya 7 kilogram dengan tinggi 70 sentimeter.
Sekretaris Jenderal Komnas PA Jawa Timur, Jaka Prima, yang ditemui di Mojokerto pada Senin (3/11/2025), menyatakan keprihatinan mendalam atas kondisi tersebut. Menurutnya, kasus Apri hanyalah satu dari sekian banyak persoalan gizi yang luput dari perhatian aparat desa.
“Kami masih menemukan banyak anak-anak di Jawa Timur mengalami gizi buruk, bahkan sampai kondisinya memprihatinkan. Faktor ekonomi memang dominan, tapi pendataan yang lemah di tingkat desa juga jadi persoalan besar,” ujarnya kepada suarajatimpost.com.
Jaka menilai, lemahnya sistem pendataan keluarga rawan gizi di tingkat desa menyebabkan banyak anak tidak terpantau kesehatannya. Padahal, kata dia, program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Presiden Prabowo seharusnya bisa menjadi solusi nyata jika implementasinya tepat sasaran.
“Pemerintah daerah dan aparat desa harus punya komitmen kuat melakukan pendataan berkelanjutan. Dari situ kita bisa tahu keluarga mana yang berisiko anaknya mengalami kekurangan gizi,” tegasnya.
Komnas PA Jatim juga mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap distribusi bantuan sosial dan penanganan kesehatan anak di wilayah pedesaan. Jika ditemukan adanya kelalaian aparat desa dalam pemantauan, Jaka meminta agar ditindak tegas.
“Tidak boleh ada lagi anak seperti Apri yang luput dari perhatian. Ini soal hak hidup dan perlindungan anak,” tambahnya.
Sementara itu, aktivis kesehatan Tanty Niswatin, yang memantau kondisi Apri di rumah sakit, menyebut pasien datang dalam kondisi lemah dan mengalami komplikasi serius.
“Saat dibawa ke rumah sakit, kondisinya parah, bahkan sempat kejang dan gula darahnya sangat tinggi. Ini bukan kasus baru, tapi sayangnya penanganannya terlambat,” kata Tanty, saat dihubungi Minggu (2/11/2025).
Tanty menilai, keterbatasan orang tua Apri yang mengalami gangguan mental turut memperburuk kondisi gizi anak tersebut. Ia menegaskan pentingnya pemantauan tumbuh kembang balita oleh kader posyandu dan petugas kesehatan agar kasus serupa tidak terulang.
Di sisi lain, Kepala Desa Kelutan, Yuni Rohmawati, mengakui ada kelalaian dalam pemantauan warganya. Ia menyebut pihak desa sudah memberikan bantuan seperti kursi roda dan paket sembako, namun belum melakukan pengawasan kesehatan secara berkala.
“Kami akui memang ada kekurangan. Ke depan, kami akan lebih memperkuat koordinasi dengan tenaga kesehatan dan pemerintah kabupaten supaya semua balita terpantau,” ujarnya.* (Mg02)


													



