IKNews, RATATOTOK – Suara mesin ekskavator meraung di tengah hutan. Asap solar dan debu tanah bercampur dalam udara yang mestinya segar. Di sinilah, di kawasan konservasi Kebun Raya Ratatotok, aktivitas tambang ilegal masih berjalan bebas tanpa hambatan.
Tim investigasi menemukan sejumlah alat berat beroperasi siang dan malam, menggali tanah dan mengambil material tambang tanpa izin. Ironisnya, lokasi itu merupakan kawasan konservasi milik negara yang semestinya dijaga ketat dari segala bentuk eksploitasi.
Nama IS alias Inal mencuat dalam temuan lapangan. Ia disebut-sebut sebagai tokoh sentral jaringan penambangan emas tanpa izin (PETI) yang telah lama beroperasi di wilayah Ratatotok dan sekitarnya.
Namun, meski aktivitas ini telah lama menjadi rahasia umum, hingga kini tidak ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum (APH).

“Alat berat bekerja tanpa henti. Tidak pernah ada polisi atau dinas yang datang menghentikan. Seolah-olah semua ini legal,” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kondisi lapangan menunjukkan kerusakan parah, vegetasi hutan gundul, sungai-sungai berubah warna kecokelatan akibat lumpur tambang, dan habitat satwa endemik hilang. Kawasan yang dibangun untuk penelitian dan pelestarian kini berubah menjadi kubangan emas dan lumpur.
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Selain itu, tindakan ini juga menabrak Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang pengubahan fungsi kawasan hutan tanpa izin. Pelaku terancam pidana 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Dari sisi lingkungan, pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) juga nyata. Pasal 98 ayat (1) menyebut, perusakan lingkungan hidup dapat dihukum penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Aktivis lingkungan menyebut kondisi ini sebagai “bukti kelumpuhan penegakan hukum” di daerah.
“Kalau kawasan konservasi saja bisa dirusak tanpa konsekuensi, di mana wibawa hukum kita? Ini bukan sekadar tambang ilegal, tapi kejahatan lingkungan yang terorganisir,” tegas seorang pegiat dari jaringan LSM lingkungan di Sulawesi Utara. (Mg02)







