IKNews, BOLTIM – Sabtu pagi (6/9/2025), aula Hotel Sutan Raja Kotamobagu disesaki senyum haru, toga, dan kilau harapan masa depan. Di tengah barisan wisudawan Institut Agama Islam (IAI) Kotamobagu yang bersiap melepas gelar mahasiswa, hadir sosok yang cukup mencuri perhatian—Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Oskar Manoppo.
Namun, Oskar datang bukan sekadar memenuhi undangan seremonial. Di hadapan para lulusan dan mahasiswa baru angkatan 2025–2026, ia menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar ucapan selamat.
“Sarjana bukan gelar yang harus dibanggakan semata, tapi harus menjadi alasan untuk berbuat lebih banyak bagi orang lain,” ucap Oskar, yang memilih menyampaikan pidatonya dengan gaya santai namun penuh makna.
Ia menyebut keberhasilan akademik sebagai buah dari perjuangan panjang, bukan hanya milik si mahasiswa, tapi juga orang tua, dosen, dan lingkungan sekitar yang mendukung tanpa henti.
“Selamat kepada para wisudawan. Tapi ingat, ini baru permulaan. Setelah ini, kalian akan diuji lagi: apakah gelar itu hanya simbol, atau benar-benar bermakna bagi masyarakat,” tambahnya.

Tak hanya untuk para wisudawan, Oskar juga menyapa mahasiswa baru yang baru saja memulai babak kehidupan kampus mereka. Ia menyelipkan nasihat yang terdengar sederhana, tapi dalam: jadikan kampus bukan hanya tempat menuntut ilmu, tapi tempat menempa diri.
“Nilai akademik itu penting, tapi lebih penting lagi karakter. Kampus ini harus menjadi tempat kalian membangun integritas dan spiritualitas, bukan cuma IPK tinggi,” katanya.
Pesan itu tampaknya tidak hanya formalitas. Oskar menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Boltim akan terus mendorong kerja sama dengan perguruan tinggi, termasuk IAI Kotamobagu, sebagai bagian dari misi memperkuat kualitas sumber daya manusia di daerahnya.
“Kami ingin SDM Boltim unggul, bukan hanya karena ijazah, tapi karena mampu berpikir kritis dan bertindak solutif,” ujarnya serius.
Di sela acara, terlihat banyak wajah orang tua yang berkaca-kaca menyaksikan anak mereka diwisuda—momen yang mungkin dulu hanya sekadar impian. Dari bangku tamu, seorang ibu dari Kecamatan Modayag tampak mengusap air mata saat anak bungsunya dipanggil ke atas panggung.
“Dia kuliah sambil bantu ayahnya bertani. Saya tidak percaya hari ini bisa lihat dia pakai toga,” ujarnya lirih.
Momen ini menegaskan, bahwa wisuda bukan semata seremoni kampus, tapi titik balik bagi banyak keluarga sederhana yang berharap anak-anak mereka bisa mengubah nasib lewat pendidikan.
Peliput: Muklas