IKNews, Bolsel – Warga Pinolosian Timur, Bolaang Mongondow Selatan, kembali menghadapi ancaman besar. Aktivitas eksplorasi tambang PT JRBM di Kilo 12 Desa Bobungayon dinilai akan menjadi bencana lingkungan yang menghantui kehidupan masyarakat kecamatan pinolosian timur. Potensi banjir bandang dan longsor kian nyata, menyusul jejak penggundulan hutan yang semakin parah akibat operasi tambang tersebut.
Pada Agustus 2024, desa-desa di Pinolosian Timur dihantam banjir besar yang menghancurkan rumah-rumah. Penyebabnya tak lain adalah eksploitasi tambang dan penggundulan hutan yang tak terkendali. Kini, ancaman serupa kembali muncul, namun kali ini dampaknya diprediksi jauh lebih besar.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyuarakan kegelisahannya. “Kami sudah mengalami banjir dan longsor yang hampir merenggut nyawa kami tahun lalu. Sekarang, dengan adanya tambang besar seperti PT JRBM, kami takut bencana akan terjadi lagi, lebih buruk dari sebelumnya. Tapi pemerintah hanya diam!” ujarnya dengan nada marah.
Kekecewaan warga memuncak ketika pemerintah disebut lebih melindungi kepentingan perusahaan besar dibandingkan melindungi masyarakatnya. Warga menuding pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan aturan tambang. “Kalau rakyat menambang kecil-kecilan, mereka sebut ilegal. Tapi giliran perusahaan besar merusak lingkungan, tidak ada tindakan apa-apa. Kami seperti tidak punya perlindungan,” tambahnya.
Selain bencana ekologis, aktivitas tambang ini juga mempengaruhi mata pencaharian warga. Sebagian besar masyarakat bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan yang kini terancam rusak akibat eksplorasi tambang. Polusi udara, air, dan tanah diprediksi akan menghancurkan ekosistem lokal yang menjadi tumpuan hidup mereka.
Warga dan sejumlah organisasi masyarakat sipil menuntut DPRD Sulut, khususnya Komisi I yang baru saja dipimpin oleh Muliadi Paputungan, untuk turun tangan menghentikan aktivitas tambang PT JRBM. Mereka berharap Muliadi dapat menjadi jembatan aspirasi warga Pinolosian Timur dalam melindungi lingkungan dan hak hidup mereka.
“Jika DPRD Sulut terus membiarkan ini, kami tidak akan tinggal diam. Kami akan melawan kebijakan yang hanya menguntungkan korporasi tapi membunuh rakyat!” tegas seorang perwakilan warga.
Bencana yang mengancam Pinolosian Timur ini menjadi refleksi buruk bagi pemerintah daerah Sulut. Meski pemerintah baru saja menerima penghargaan pelayanan publik dari Kemenpan RB, kenyataan di lapangan menunjukkan lemahnya keberpihakan terhadap rakyat kecil. Sulut memerlukan langkah nyata, bukan sekadar penghargaan administratif, untuk melindungi warganya dari kehancuran akibat eksploitasi tambang.****