Di Balik Deportasi Prescy: Humanisme dalam Wajah Penegakan Hukum Keimigrasian

oleh -499 Dilihat
oleh
Suasana haru saat Prescy Lebanon Sono berpamitan dengan keluarganya di Kantor Imigrasi Kotamobagu sebelum dideportasi ke Filipina, Selasa (16/9/2025). (Foto: Rahman)

IKNews, Kotamobagu – Sehari sebelum kepulangannya ke Filipina, Prescy Lebanon Sono duduk di ruang tunggu Kantor Imigrasi Kotamobagu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat anaknya, sebelum akhirnya berucap lirih, “Mama pasti balik, jaga kesehatan ya.”

‎Kalimat sederhana itu menyentuh ruang batin siapa saja yang menyaksikan. Deportasi yang biasanya identik dengan proses dingin dan tegas, kali ini justru menghadirkan wajah lain: humanisme di tengah penegakan hukum.

19 Tahun Menyatu dengan Masyarakat

‎Prescy bukan orang asing dalam arti sesungguhnya. Sejak awal 2000-an ia masuk ke Sulawesi Utara secara ilegal lewat jalur laut. Tanpa paspor, tanpa visa, ia melabuhkan hidupnya di Desa Matabulu, Kecamatan Nuangan, Bolaang Mongondow Timur.

Di sana, ia menikah secara agama dengan pria setempat, membangun rumah tangga, dan melahirkan lima orang anak. Dua dekade hidupnya menyatu dalam denyut nadi masyarakat desa, hingga pada 2024 namanya sempat muncul dalam daftar pemilih sementara Pemilu.

Ketika Hukum Bertemu Realitas Sosial

Secara normatif, pelanggaran Prescy jelas. Pasal 119 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyebut setiap orang asing yang masuk tanpa dokumen sah dapat dipidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Namun, Kepala Imigrasi Kotamobagu Harapan Nasution, melalui Kasi Intel Dakim, Keneth Rompas, menyadari bahwa hukum tak berdiri di ruang hampa.

‎“Normanya, begitu terbukti pelanggaran, langsung deportasi. Tapi di sini ada lima anak, ada kehidupan keluarga, ada ikatan sosial. Itu yang jadi pertimbangan kami menerapkan pendekatan humanis,” ujarnya, Rabu (17/9/2025).

‎Alih-alih menempatkan Prescy di ruang detensi, Imigrasi memberinya ruang untuk menyiapkan kepulangan secara mandiri. Sebuah diskresi yang lebih menekankan penghormatan hak asasi manusia.

Sorotan Publik dan Isu Liar

Kasus ini memicu sorotan. Kritik publik menyinggung lemahnya pengawasan hingga memungkinkan seorang WNA hidup 19 tahun tanpa terdeteksi. Bahkan, isu liar di media sosial sempat menyebut Prescy sebagai agen intelijen asing.

Imigrasi menepis tudingan tersebut.

“Tidak ada indikasi keterkaitan dengan organisasi atau aktivitas intelijen. Itu hanya isu yang tidak berdasar,” tegas Keneth.

Pelajaran dari Kasus Prescy

‎Praktisi hukum Eldy Satria Noerdin, SH, MH melihat langkah Imigrasi masih dalam koridor kewenangan. Menurutnya, deportasi dengan pendekatan humanis adalah cerminan bahwa hukum bisa tegak tanpa kehilangan rasa kemanusiaan.

“Kita tidak bisa menafikan norma hukum, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata dari realitas sosial yang dihadapi. Diskresi yang ditempuh Imigrasi sudah proporsional,” jelas Eldy.

‎Kasus Prescy adalah pengingat: negara harus waspada terhadap potensi pelanggaran keimigrasian, tapi juga dituntut untuk menegakkannya dengan wajah yang manusiawi. (Mg01)

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.