
IKNews, BOLMONG – Heningnya hutan tropis di Taman Nasional Nani Wartabone, yang seharusnya menjadi surga alami dan tempat perlindungan bagi satwa liar, kini digerogoti oleh suara mesin gergaji dan jejak kejahatan manusia. Pekan lalu, suara itu terdengar pula oleh Jerome, seorang fotografer alam terkenal asal Swiss, yang datang bersama enam anggota keluarganya untuk merasakan langsung kehidupan liar di jantung Sulawesi Utara.
Namun bukan kekayaan biodiversitas yang pertama kali menyapa mereka, melainkan pemandangan luka terbuka di tubuh hutan: batang-batang pohon tumbang, jalur kendaraan berat, dan suara satwa yang kian menjauh. “Kami datang mencari keajaiban alam, tetapi yang kami temui justru kerusakan,” kata Jerome seperti diterjemahkan oleh pemandu lokal mereka, Dedy Tampilang.
Jerome bukan turis biasa. Ia adalah fotografer lingkungan yang dalam pekerjaannya kerap membingkai hutan-hutan tropis dari berbagai belahan dunia. Namun di Taman Nasional Nani Wartabone—sebuah kawasan konservasi yang seharusnya steril dari aktivitas ilegal—ia justru menyaksikan realitas pahit: pembalakan liar yang terang-terangan berlangsung.
Desa Toraut, Kecamatan Dumoga Barat, menjadi titik masuk rombongan wisatawan tersebut. Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp150.000 per orang, mereka berharap mendapatkan pengalaman tak terlupakan di kawasan yang dikenal sebagai habitat satwa endemik seperti Macaca nigra, burung maleo, dan anoa. Tapi ekspektasi itu runtuh.
“Dari penilaian tamu selama ini, mereka biasanya sangat senang. Tapi kali ini, mereka pulang dengan kecewa dan marah,” ujar Dedy Tampilang, manajer Bogani Explorer, sebuah agen wisata yang kerap membawa turis asing untuk trekking dan pengamatan satwa di wilayah Bolaang Mongondow.
Ia menunjukkan beberapa titik yang mereka lalui, bekas pohon besar yang ditebang, jejak aktivitas berat, dan aroma tajam kayu segar. Bahkan, beberapa turis asing sempat merekam dan memotret kondisi tersebut sebagai dokumentasi pribadi—dan kemungkinan, bukti yang akan mereka sampaikan kepada dunia internasional.
Pembalakan liar bukan hanya persoalan lingkungan—ia adalah pengkhianatan terhadap masa depan. Di kawasan yang seharusnya menjadi zona konservasi, nyawa satwa dilindungi terancam, rantai ekosistem terganggu, dan potensi ekowisata jangka panjang bisa hancur dalam sekejap.
“Ada suara aneh di tengah malam, seperti mesin yang bekerja. Kami pikir itu suara binatang, ternyata… itu manusia yang sedang menebang pohon,” kata salah satu anggota rombongan asal Prancis yang turut serta dalam perjalanan.
Lebih memprihatinkan lagi, para wisatawan juga melaporkan indikasi perburuan liar. “Kami tidak hanya melihat kayu ditebang, tapi juga jerat satwa dan sisa-sisa aktivitas pemburu,” imbuh Dedy.
Kawasan Taman Nasional Nani Wartabone dikelola oleh pemerintah pusat melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Namun lemahnya pengawasan dan minimnya tindakan hukum membuat kawasan ini rentan terhadap eksploitasi. Ironisnya, pungutan resmi terhadap wisatawan tetap berjalan, meski pengalaman yang diberikan tak sesuai dengan janji konservasi.
“Kalau kami bayar untuk masuk kawasan konservasi, kami harap itu benar-benar dijaga. Tapi nyatanya, aktivitas ilegal masih marak,” keluh Jerome.
Para wisatawan berharap agar pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan pengelola taman nasional tidak menutup mata terhadap apa yang terjadi. Dunia internasional menyaksikan, dan reputasi Indonesia sebagai surga ekowisata ikut dipertaruhkan.
Taman Nasional bukan hanya kawasan lindung—ia adalah warisan untuk generasi masa depan. Bila pembalakan liar dan perburuan tidak segera ditindak, hutan-hutan seperti di Nani Wartabone hanya akan tinggal nama. Lebih dari itu, peluang besar yang bisa dihasilkan dari sektor ekowisata juga akan lenyap, digantikan oleh kerugian ekologis yang tak bisa dihitung dengan uang.
“Ini bukan hanya tentang satu atau dua pohon. Ini tentang sistem yang rusak, dan kami tidak ingin menjadi bagian dari ketidakpedulian itu,” tegas Dedy.
(Muklas)