IKNews, KENDAL – Tradisi Tedhak Siten atau prosesi upacara ketika seorang anak turun tanah digelar warga Srogo tepatnya Desa Sidorejo Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal.
Tradisi Jawa yang mulai dilupakan ini digelar untuk seorang anak bernama King Zayn Muhammad Luthfi, putra pasangan Mochamad Muslich dan Ria Rizky Ardiana
Bagi Mamad dan Ria, tradisi tedak siten ini penuh makna karena diyakini menjadi simbol penghormatan kepada bumi semoga kami dapat menjaga amanah Allah SWT di mudahkan dalam membimbingnya, semoga menjadi generasi yang sholeh yang berguna bagi diri sendiri, orang tua agama serta bangsa harapan baik bagi masa depan si buah hati.
“ini tradisi di dusun kami setiap anak umur 7 bulan harus di-tedhak siten,” kata Ria, Jum’at (01/03/2024).
Ia mengaku bahwa dia memang sengaja melangsungkan prosesi Tedak Siten dengan mengundang, Pemuda Pancasila, Babin, warga Srogo, dan anak-anak di kampungnya, dengan acara Tasyakuran, Bersholawat, Tujuan diadakannya tradisi ini adalah mengenalkan anak-anak dengan budaya Jawa tempo dulu yang kini banyak dilakukan bagi orang yang mampu.
Tedhak siten adalah bahasa simbolik yang mengajarkan tentang kearifan hidup, seperti bagaimana hubungan manusia, alam dan tuhan secara harmoni.
Tedhak siten juga dikenal sebagai upacara turun tanah, tedak berarti turun, dan siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Prosesi ini juga bertujuan supaya anak tumbuh menjadi anak yang mandiri. Tedhak siten biasanya digelar saat anak berusia tujuh atau delapan bulan.
Dalam prosesi tersebut, seorang anak ditempatkan di dalam kurungan yang terdapat kitab, uang, tasbeh, pensil dan lain sebagainya. Beberapa benda itu nantinya dipilih oleh sang anak yang dipercaya akan menentukan profesi yang akan digeluti sang anak di masa yang akan datang.
“Tradisi ini sudah dilakukan sejak nenek moyang. Tadi adik pertama memilih Tasbih, yang artinya jadi anak Sholeh yang kedua memilih Uang yang artinya Menjadi anak yang sukses masa depanya, yang ketiga memilih kitab pandai membaca dan mengaji ” terang Ria.
Dalam prosesi ini juga dilibatkan seorang sesepuh dan masyarakat yang nantinya mendoakan agar ke depannya sang anak lebih baik dan jadi anak yang sholeh.
Prosesi ini dimulai dengan menapaki jadah tujuh warna, dan dilanjut naik tangga. Tangga tradisional dibuat dari tebu jenis Arjuna dengan dihiasi kertas warna warni. Ritual tersebut melambangkan harapan agar si bayi memiliki sifat ksatria layaknya arjuna. Tebu dalam bahasa jawa adalah kependekan dari antebing kalbu yang berarti bermakna kemantapan hati.
Hal ini menyimbolkan pengharapan agar bayi selalu sehat, membawa nama harum bagi keluarga, hidup layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya.
“Harapannya Thole (sebutan Jawa bagi anak laki laki) jadi anak yang sholeh, ke depan tetap sehat, berbakti kepada kedua orang tua dan sayang kepada keluarga dan berguna bagi semua,” Ria.
(Isti)